BULLETIN DISEASE EDISI JUNI

2. DEFINISI

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S.typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.[1]

2. ETIOLOGI

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella Parathypi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.[1]

3. EPIDEMIOLOGI

Menurut WHO, insiden terjadinya demam tifoid berkisar 16 hingga 33 juta kasus per tahunnya dengan angka kematian mencapai 600 ribu per tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit rawat inap terbanyak ketiga di Indonesia dengan insiden mencapai 600.000-1.500.000 kasus pertahunnya. Pada daerah pedalaman terdapat 760 kasus dari 10.000 populasi dan pada daerah kota,  810 kasus dari 100.000 populasi per tahunnya. Prevalensi demam tifoid di negara Indonesia sebesar 1,60%, tertinggi terjadi pada kelompok usia 5–14 tahun. [1][2]

4. PATOMEKANISME

Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal dengan 5 F yaitu (food, finger, fomitus, fly, feses). Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang telah terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imun kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. [1][3]

Di organ-organ ini, Salmonella akan meninggalkan sel fagosit, berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid, kemudian masuk kembali ke sirkulasi darah menyebabkan bakteremia kedua disertai timbulnya tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Salmonella dapat masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak, lalu menuju lumen usus bersama ekskresi cairan empedu. Sebagian kuman keluar melalui feses, sebagian lain dapat menembus usus dan masuk lagi ke sirkulasi.[3]

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala dapat muncul setelah masa inkubasi 7–14 hari. Gejala klinis bervariasi mulai dari ringan sampai berat. [3]

  1. Pada minggu pertama gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain seperti demam, nyeri kepala, pusing, mialgia, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, rasa tidak nyaman di perut, batuk, dan epistaksis. Demam meningkat perlahan terutama sore hingga malam.[3]
  2.  Gejala pada minggu kedua lebih jelas berupa bradikardia relatif, lidah berselaput (kotor di bagian tengah dan tepi, kemerahan pada ujung dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, hingga perubahan status mental (somnolen, sopor, koma, delirium, psikosis).[3]
  3. Rose spot (ruam makulopapular, salmon-colored, dan pucat) dapat muncul terutama di bagian dada pada akhir minggu pertama dan hilang setelah 2 – 5 hari.[3]

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis definitif adalah isolasi S. typhi atau S. paratyphi dari darah, sumsum tulang, rose spot, feses.

  1. Pemeriksaan gold standard untuk demam tifoid adalah kultur darah. Organisme paling sering ditemukan pada 7 – 10 hari pertama.[3]
  2. Pemeriksaan serologi: Uji Widal dan IgM/IgG Salmonella. Pada uji widal Aglutinin O meningkat pada hari ke 6–8 sedangkan aglutinin H meningkat pada hari ke 10-12. Pada uji IgM  hasil positif dapat ditemukan 2 -3 hari setelah infeksi.[3]

7. PENATALAKSANAAN

  • Tatalaksana Suportif

Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi.[2]

  • Tatalaksana Utama (pemberian antibiotik)

Pilihan utama antibiotik tergantung pola kerentanan kuman S.typhi dan S.paratyphi di area tertentu. [3]

Fluoroquinolones adalah kelas yang paling efektif dengan angka
kesembuhan mencapai 98%, angka relaps dan fecal carrier <2%, dan efek terapi paling ekstensif adalah dengan siprofloksasin. kloramfenikol menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.[3]

  • Pasien dengan muntah persisten, diare, dan distensi abdomen harus dirawat dan diberi terapi suportif dan antibiotic parenteral sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung tingkat kerentanan
    antibiotik setempat. [3]
  • Karier kronik dapat diterapi dengan antibiotik yang sesuai selama 4 – 6 minggu. Antibiotik oral amoksisilin, trimethropim-sulfametoksazol, siprofloksasin, atau norfloksasin memiliki keefektifan sekitar
    80%. Pasien batu empedu atau batu ginjal mungkin memerlukan terapi antibiotik dan operasi. [3]

8. GAMBAR

                    (Bakteri S. typhi pada pewarnaan gram) [1]

 (lidah pada pasien demam tifoid)[1]

SUMBER:

  • Rahmat, W; Akune, K; Sabir, M. Demam Tifoid dengan Komplikasi Sepsis: Pengertian, Epidemiologi, Patogenesis, dan Sebuah Laporan Kasus. Jurnal Medical Profession (Medpro). 2019; 1(3): 220-225.
  • Ardiara, M. Epidemiologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan Demam Tifoid. Journal of Nutrition and Health. 2019; 7(2): 32-38.
  • Hartanto, D. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa. Cermin Dunia Kedokteran. 2021; 48(1): 5-7.
Shares:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *