Definisi & Etiologi

Spinal cord injury (SCI) didefinisikan sebagai kerusakan pada medulla spinalis atau sumsum tulang belakang yang menyebabkan perubahan sementara atau permanen terhadap fungsi motorik, sensorik, dan otonom. SCI dapat disebabkan oleh cedera intensitas tinggi, seperti kecelakaan lalu lintas, cedera jatuh, dan cedera akibat kekerasan, atau oleh infeksi, tumor, gangguan degeneratif kolom vertebra, cedera iskemia-reperfusi, dan penyebab vaskular.

Epidemiologi

Angka insidensi spinal cord injury bervariasi dipengaruhi kondisi geografis. Salah satu contoh yang ekstrim adalah di negara Jepang. Usia terbanyak penderita SCI di Jepang adalah 50-59 tahun, dan 41% nya disebabkan karena jatuh. Hal ini dikarenakan tingginya prevalensi stenosis kongenital dan osifikasi ligamentum longitudinal posterior vertebra servikal pada warga  Jepang. Data dari WHO pada tahun 2013, terdapat 250.000 sampai 500.000 orang yang mengalami SCI setiap tahunnya dan  90% nya merupakan kasus traumatik. Pada tahun  2018, estimasi prevalensi ini meningkat 2 kali lipat

Patofisiologi

1. Cedera Primer SCI akut biasanya terjadi karena trauma mendadak pada tulang belakang yang mengakibatkan patah tulang dan dislokasi tulang belakang. Tahap awal segera setelah cedera dikenal sebagai cedera primer. Cedera primer akan memicu cedera sekunder yang menghasilkan kerusakan kimiawi dan mekanis lebih lanjut pada jaringan tulang belakang, menyebabkan eksitotoksisitas saraf karena akumulasi kalsium di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi oksigen reaktif dan kadar glutamat. Keadaan ini merusak asam nukleat, protein, dan fosfolipid sel yang mengakibatkan disfungsi neurologis

2. Cedera Sekunder Cedera sekunder dikategorikan menjadi tiga fase: akut, sub-akut, dan kronis. Setelah fase cedera primer, fase cedera sekunder akut diakibatkan kerusakan pembuluh darah, ketidakseimbangan ion, eksitotoksisitas, produksi radikal bebas, peningkatan influks kalsium, peroksidasi lipid, peradangan, edema, dan nekrosis. Fase cedera sekunder akut akan  berlanjut ke fase cedera sekunder sub-akut berupa apoptosis neuron, demielinasi aksonal, degenerasi Wallerian, remodelling aksonal, dan pembentukan glial scar. Selanjutnya cedera sekunder sub-akut mengarah ke fase cedera sekunder kronis yang ditandai dengan pembentukan rongga kistik, axonal dieback, dan pematangan glial scar. Fase cedera sekunder mencerminkan proses patologis kompleks setelah fase cedera primer dan berlangsung selama beberapa minggu

Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang timbul bervariasi seperti nyeri, paralisis, paresis, inkontinensia, tergantung dari 2 faktor yaitu berdasarkan tingkat keparahan dari SCI dan berdasarkan letak dari cedera di sepanjang medula spinalis. Berdasarkan tingkat keparahannya, SCI dapat dibagi menjadi 2 yaitu cedera komplit dan inkomplit. Cedera komplit adalah cedera dengan keadaan gangguan fungsi neurologis secara absolut dimana pasien tidak dapat merasakan sensasi dan maupun menggerakan fungsi motorik dibawah tingkat cedera pada tulang belakang. Sedangkan cedera inkomplit adalah cedera dengan penurunan fungsi neurologis baik sensorik dan motorik dibawah bagian dari cedera tulang belakang sehingga tidak dapat melakukan fungsi maksimal, biasanya masih dapat berfungsi utuh hingga sedikit namun tidak sampai gagal fungsi. SCI inkomplit dapat bermanifestasi sebagai sindrom inti sentral, sindrom Brown-Séquard, sindrom medula anterior, dan sindrom inti posterior.

Tatalaksana

Tujuan utama dalam melakukan penatalaksanaan trauma medula spinalis akut adalah melakukan terapi yang menyebabkan SCI primer dan mencegah cedera lanjutan atau sekunder pada SCI dengan pelaksanaan A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), E (exposure) jika pasien dalam kondisi gawat darurat. Diperlukan mobilisasi yang minimal saat pelaksanaan survei primer pada pasien dengan menggunakan C-Collar pada leher, blok, dan tape (pita perekat), serta penggunaan manuver log rolling, dan backboard sebagai tempat pasien.

Setelah pasien stabil pasca resusitasi ABCDE, maka tahapan selanjutnya yaitu melakukan terapi lanjutan untuk mencegah lesi transversa, mempercepat resolusi dan revalidasi, rehabilitasi aktif, serta mempermudah dan mempercepat dalam proses perawatan dan fisioterapi secara aktif. Tindakan lanjutan yang dapat dilakukan yaitu pembedahan dan atau terapi farmakologi. Pembedahan yang dapat dilakukan berupa reposisi dan stabilisasi jika mengalami dislokasi, dan dekompresi pada pasien yang mengalami tanda-tanda kompresi medula spinalis akibat deformitas, fragmen tulang, hematoma, dan perlukaan. Farmakologi yang saat ini menjadi rekomendasi yaitu kortikosteroid jenis metilprednisolon dengan dosis 30mg/kgBB bolus IV yang berguna dalam mencegah terjadinya inflamasi dan menekan migrasi netrofil serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Pemberian dosis tinggi metilprednisolon direkomendasikan pada pasien <8 jam setelah cedera pertama dan tidak direkomendasikan untuk melakukan pemberian metilprednisolon dalam kurun waktu 48 jam karena dapat menyebabkan efek samping lebih lanjut. Bila diberikan dalam kurun waktu <3 jam setelah cedera, terapi dapat dilanjutkan selama 23 jam dengan metilprednisolon IV kontinyu dosis 5,4mg/kgBB/jam. Terapi ini efektif dalam meningkatkan fungsi motorik dan sensorik baik pada cedera parsial maupun total dengan masing-masing dalam kurun waktu pemberian terapi 6 minggu dan 6 bulan.

Sumber

Atmadja, A.S, Sekeon, S.A., Ngantung, D.J. 2021. Diagnosis dan Pengobatan Cedera Trauma Tulang Belakang. Jurnal Sinaps. Vol. 4(1): 25-35.

Ciatawi, K., & Tiffany. 2022. Patofisiologi Cedera Tulang Belakang. Cermin Dunia Kedokteran. Vol. 49(9): 493-498.

Dinata, I.G.S., & Yasa, A.A.G.W.P. 2021. TINJAUAN UMUM CEDERA MULUT TULANG BELAKANG. Ganesha Medicina Journal. Vol. 1(2): 103-113.

Hu, X., Xu, W., Ren, Y., et al. 2023. Cedera sumsum tulang belakang: mekanisme molekuler dan intervensi terapeutik. Signal Transduction and Targeted Therapy. Vol.8(245): 1-28. 

Shares:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *