DEFINISI
Cacing genus Schistosoma menyebabkan penyakit yang disebut Schistosomiasis. Penyakit ini sangat tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Schistosomiasis, juga dikenal sebagai demam siput, bilharzia, dan demam Katayama. Schistosomiasis yang terjadi di Indonesia ditemukan endemis hanya di Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di daerah Lembah Napu dan Bada, Kabupaten Poso serta Lembah Lindu, Kabupaten Sigi. Penyebab Schistosomiasis ini adalah cacing Schistosoma japonicum. Hospes perantaranya yaitu keong Oncomelania hupensis lindoensis. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia di antaranya sapi, kambing, babi, domba, rusa, anjing, tikus serta hewan pengerat lainnya yang terinfeksi.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, Schistosomiasis adalah salah satu penyakit endemis, yaitu di Dataran Tinggi Napu, Bada, dan Lindu Kabupaten Poso dan Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Prevalensi Schistosomiasis pada daerah tersebut berkisar antara 0,17% sampai 1,15%.
ETIOLOGI
Schistosomiasis disebabkan oleh infeksi cacing parasit yang hidup di air. Beberapa cacing penyebab Schistosomiasis, salah satu di antaranya ialah Schistosoma japonicum. Cacing ini bisa masuk ke dalam tubuh saat seseorang mandi, berenang, mencuci pakaian, atau melakukan aktivitas lain di air yang sudah terkontaminasi cacing Schistosoma. Cacing Schistosoma bisa masuk ke dalam tubuh manusia melalui permukaan kulit dan menyebar ke organ tubuh lain melalui pembuluh darah. Setelah beberapa minggu, cacing tersebut akan berkembang menjadi dewasa dan mulai bergerak ke organ tubuh lain, seperti paru-paru dan hati.
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami skistosomiasis, antara lain:
1. Tinggal atau bepergian ke wilayah yang sedang terjadi wabah skistosomiasis.
2. Kontak langsung dengan air tawar, seperti sungai, danau, atau waduk.
3. Daya tahan tubuh yang lemah, misalnya karena menderita HIV/AIDS atau sedang mengonsumsi obat penekan sistem imun (imunosupresan).
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi schistosomiasis dimulai saat serkaria menembus kulit hospes definitif, yaitu manusia. Schistosoma ditularkan oleh inang yang mengembangkan serkaria yang menyerang kulit manusia dalam air. Schistosomiasis disebabkan oleh respons imunologi terhadap telur cacing yang terperangkap dalam jaringan.
Ketika serkaria menembus kulit, terjadi perubahan serkaria menjadi schistosomula yang mengikuti aliran darah ke jantung kanan, paru, kemudian ke jantung kiri dan ke peredaran darah besar. Saat kembali melalui vena porta hepatis, schistosomula berkembang menjadi dewasa di hati dalam 3–6 minggu.
Pada fase dewasa, Schistosoma kembali ke vena usus dan vesica urinaria. Di usus, cacing betina yang telah berkopulasi akan mengeluarkan telur yang dapat menembus dinding usus dan vesika urinaria, sehingga telur dapat keluar melalui feses dan urin.
MANIFESTASI KLINIS
Pada fase akut (skistosomiasis akut), keluhan atau gejala yang akan muncul adalah:
• Rasa gatal di kulit
• Ruam kulit
• Demam
• Batuk
• Pusing
• Sakit perut
• Diare
• Nyeri otot dan sendi
• Tubuh terasa lelah dan lemas (malaise)
Jika infeksi terus berlanjut, akan muncul gejala skistosomiasis kronis. Gejala yang muncul pada tahap kronis tergantung pada organ yang menjadi tempat cacing skistosoma berkembang biak, di antaranya:
• Anemia
• Nyeri perut
• Sulit berkemih
• Urine berdarah
• Diare dan BAB berdarah
• Batuk yang terus-menerus disertai batuk berdarah
• Penumpukan cairan dalam perut (asites)
• Nyeri dada dan jantung berdebar
• Sesak napas
• Sakit kepala
• Kelumpuhan pada tungkai
• Kejang
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan deteksi telur Schistosoma pada pemeriksaan beriku antara lain:
• Tes darah, untuk mendeteksi adanya anemia dan peningkatan kadar eosinofil
• Tes urine dan tes tinja, untuk mendeteksi telur cacing skistosoma di dalam urine atau tinja
• Tes fungsi ginjal dan hati, untuk memastikan ada tidaknya gangguan pada organ tersebut
• Pemindaian dengan CT scan, MRI, Rontgen, ekokardiografi, atau USG, untuk mendeteksi penyebaran infeksi skistosoma
• Biopsi, untuk mendeteksi sel-sel abnormal yang ada di sampel jaringan
TATALAKSANA
Skistosomiasis dapat diobati dengan pemberian obat-obatan. Dokter akan memberikan obat anticacing, yaitu praziquantel, sebagai pilihan utama untuk mengatasi skistosomiasis. Obat golongan kortikosteroid juga bisa diberikan oleh dokter untuk meredakan keluhan pada skistosomiasis akut, atau untuk meredakan gejala yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf dan otak.
REFERENSI
Dewi, Marzela., Pakaya, David., Tandi, Joni. 2021. Aktivitas Antischistosomiasis Sediaan Nanopartikel Ekstrak Biji Pinang pada Tikus Putih Jantan Terinfeksi Schistosoma japonicum. Kovalen: Jurnal Riset Kimia. Vol. 7(1). Viewed on 4th August 2024. From: https://bestjournal.untad.ac.id/index.php/kovalen
Jamieson., Molyneux, Barrie, Gillean. 2017. Schistosoma : biology, pathology, and control. Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis Group
Lackey, E., K., Horrall S. Schistosomiasis. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554434/
Nurwidayati., A, Frederika., P, Sudomo M. 2019. Fluktuasi Schistosomiasis di Daerah Endemis Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011-2018. BPK. Vol. 47(3). https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/bpk/article/view/1276
World Health Organization. Schistosomiasis Fact Sheets Details. 2020. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/schistosomiasis