BULLETIN DISEASE EDISI NOVEMBER
SUBDURAL HEMATOMA KRONIK

  1. DEFINISI

Perdarahan intracranial (ICH) adalah salah satu penyebab kematian yang utama di seluruh dunia. Pada Subdural hematoma dimana didapatkan adanya pengumpulan darah pada ruang antara lapisan selaput otak arachnoid dan duramater, dimana kemudian selanjutnya menyebabkan kerusakan otak, peningkatan tekanan intrakranial dan bahkan herniasi cerebral. SDH kronis (cSDH) dapat terjadi antara beberapa minggu hingga bulan. [1]

  • ETIOLOGI

Perdarahan subdural kronis dipercaya terutama disebabkan oleh trauma kepala. cSDH diyakini secara klasik disebabkan oleh trauma kepala ringan sampai sedang ditambah dengan kronis peradangan. Faktor risiko meliputi alkoholisme kronis, penggunaan antikoagulan jangka panjang (misalnya aspirin, heparin, warfarin), dan intervensi terapeutik (misalnya, shunting ventrikel), yang bisa menyebabkan fluktuasi tekanan intracranial dan peregangan pembuluh darah halus.[2]

  • EPIDEMIOLOGI

Angka insiden kejadian cSDH dilaporkan berbeda-beda di berbagai waktu dan negara. Lebih jauh lagi pada sebuah penelitian menggunakan register data nasional di Jepang ditemukan angka insiden kejadian dari cSDH adalah 20,6 per 100.000 orang per tahun dengan peningkatan insiden di usia yang lebih tua menjadi sebesar 76,5 pada populasi usia antara 70 hingga 79 tahun dan kemudian meningkat lagi hingga 127,1 pada populasi usia di atas 80 tahun. 7 Angka kejadian lebih tinggi di Jepang dibandingkan dengan di Finlandia dan hal ini dipercaya karena disebabkan oleh angka kejadian trauma kepala yang lebih rendah di Finlandia.

Penelitan epidemiologi terhadap cSDH belum ada di Indonesia. Namun, diperkirakan bahwa angka kejadian cSDH terus meningkat terutama pada kelompok usia tua. Oleh sebab itu di Indonesia dimana angka kasus kejadian trauma kepala tinggi, diperkirakan juga memiliki angka insiden kejadian cSDH yang tinggi dan terus meningkat.[1]

  • PATOMEKANISME

Patofisiologi dari cSDH termasuk di antaranya kejadian trauma kepala yang kemudian berkembang menjadi proses inflamasi dan angiogenesis. Trauma kepala ringan-berat terutama pada pasien-pasien usia tua akan menyebabkan perdarahan kecil dimana selanjutnya berkembang menjadi proses fibrinolysis dan peluruhan dari komponen bekuan darah. Produk-produk hancuran dari darah akan memicu terjadinya proses peradangan dan penipisan dari duramater. Proses peradangan ini akan memicu angiogenesis dari pembuluh-pembuluh darah kapiler yang belum matang yang selanjutnya akan menyebabkan semakin banyak darah yang keluar ke ruang extravaskular dan menyebabkan perdarahan-perdarahan mikro. Semakin banyak perdarahan mikro yang terjadi kemudian akan memicu lebih banyak proses fibrinolisis, inflamasi dan angiogenesis. Perdarahan akan meluas melalui kebocoran kapiler dari pembuluh-pembuluh darah yang baru. Siklus dari inflamasi dan angiogenesis yang terus berulang. [1]

  • MANIFESTASI KLINIS

Pasien yang datang pada keadaan akut setelah terjadinya trauma dapat saja tidak menunjukan gejala atau hanya menampakan gejala rungan seperti sakit kepala dan mual sehingga menyebabkan penegakan diagnosis awal menjadi sulit.

Gejala-gejala lain yang dapat timbul termasuk di antaranya penurunan kognitif dan perubahan tingkah laku yang dimana sering dianggap sebagai bagian dari gejala demensia. Beberapa gejala dari SDH yang berat termasuk diantaranya penurunan kesadaran bersamaan dengan gejala hemiparesis dan juga bisa disertai dengan gejala-gejala lain dari peningkatan tekanan intracranial seperti muntah projektil, sakit kepala dan pandangan ganda atau diplopia. terdapat pula pola pernapasan abnormal, episode apnea yang berhubungan dengan perubahan perilaku pasien, muntah, gerakan abnormal, atau kejang. [1][3]

  • PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan CT scan otak atau MRI untuk mencari tanda-tanda dari perdarahan. Penggunaan zat kontras tidak mutlak harus dikerjakan namun dapat membantu membedakan empyema subdural dari SDH.

  • CT scan otak akan menunjukan lesi hipodens di ruang subdural yang tampak berbentuk seperti bulan sabit.
  • pemeriksaan MRI Brain lesi akan tampak isointen terhadap cairan LCS baik pada fase T1 maupun T2
  • fase FLAIR akan tampak perdarahan hiperinten dibandingkan terhadap cairan LCS.

Pada 85% kasus cSDH pada orang dewasa, lesi adalah unilateral namun lesi bilateral juga dapat ditemukan.[1][4]

  • TATALAKSANA

Pilihan tatalaksana secara umum terdiri atas tatalaksana konservatif, managemen bedah dan pendekatan endovascular. Sebuah sistem skoring menggunakan Markwalder’s Grading Scale (MGS) dapat digunakan untuk menentukan prognosis dan memutuskan
tatalaksana yang paling sesuai.[1][4]

  1. Tatalaksana konservatif

Tatalaksana konservatif terdiri atas tatalaksana medikamentosa dan mentargetkan terjadinya penyerapan spontan dari hematoma. medikamentosa yang dipergunakan termasuk di dalamnya steroid, obat-obatan antifibrinolitik, golongan statin dan antagonis renin-angiotensin-aldosterone (RAAS – inhibitor).

  • Tatalaksana Bedah

Tatalaksana bedah meliputi kraniotomi konvensional dan yang lebih baru adalah managemen bedah minimal invasive seperti kraniotomi bora tau twist drill kraniotomi. Prinsip dari managemen bedah adalah menyingkirkan massa perdarahan diikuti dengan irigasi untuk melepaskan tekanan terhadap otak dan selanjutnya
meletakan drain untuk meminimalisir resiko terjadi kekambuhan.

  • Intervensi Endovaskular

Intervensi endovascular ini mentargetkan embolisasi dari arteri Meningea media (MMA). Tujuan dari embolisasi MMA adalah untuk menghentikan vaskularisasi dari membrane subdural sehingga dapat menghentikan perdarahan mikro agar tidak muncul kembali dan sebagai konsekuensinya expansi hematoma akan terhenti dan selanjutnya terjadi reabsorpsi spontan.

  • KOMPLIKASI

Embolisasi MMA dianggap sebagai sebuah prosedur yang aman dengan tingkat komplikasi yang rendah. Penelitian-penelitian menunjukan bahwa tingkat keberhasilan dari prosedur ini berada di atas 91-96%. Namun sebagai sebuah tindakan invasif maka komplikasi dapat terjadi. Komplikasi yang dilaporkan sejauh ini adalah di antaranya: perdarahan dan iskemia otak baik itu sementara ataupun yang menetap. Perdarahan dapat terjadi diakibatkan perforasi oleh mikorkateter sedangkan iskemia otak diakibatkan oleh embolisasi itu sendiri.[1][4]

  1. DAFTAR PUSTAKA
  • Usman FS, Mulyono GA , Rilianto B, et al.. Manajemen subdural hematoma kronis: sebuah paradigm baru strategi neurointervensi. Majalah kedokteran neurosains perhimpunan dokter spesialis saraf indonesia. 2021; 38(4).
  • Sahyouni R, Goshtasbi K, Mahmoodi A, et al. Chronic subdural hematoma: a historical and clinical perspective. World neurosurgery. 2017; 108(12): 948-953.
  • Pierre L, Kondamudi NP. Subdural hematoma. In: Statpearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; September 5, 2022. avaible from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532970/
  • Hidayati AN, Akbar MIA, Rosyid AN. Gawat darurat medis dan bedah. Surabaya:Airlangga university press; 2018. p.15
Shares:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *